Sabtu, 29 Agustus 2015

Tentang Sebuah Impian

Ketika mimpimu yang begitu indah
Tak pernah terwujud
Ya sudahlah…
Saat kau berlari mengejar anganmu
Dan tak pernah sampai
Ya sudahlah…
Mungkin makna dari potongan lirik lagu tersebut yaitu ketika kita sudah memberikan kemampuan kita yang terbaik dalam menggapai angan kita, dan nyatanya itu tidak juga tercapai. Sudah hentikan saja usaha itu. Sudahlah. Sudah hentikan. Tapi kapan? Kapan kita harus berhenti? 
Mungkin aku adalah orang yang ambisius dan egois. Tak memperdulikan apapun. AKU HANYA INGIN MENJADI DOKTER. Satu kata yang sudah terpatri begitu lama pada diri ini. Dan rasanya sudah tertancap begitu dalam sampai melukai bagian dari diriku pada saat itu.
2012 silam, ketika pengumuman penerimaan mahasiswa baru, aku sebagai salah satu yang lolos seleksi, seharusnya merasakan suka cita. Terlebih lagi, hanya dua orang dari sekolahku yang lolos seleksi tersebut. Seharusnya aku bahagia seperti kebanyakan mereka yang lolos seleksi. Menghaturkan sujud syukur dan air mata kebahagiaan. Aku memang mengeluarkan air mata. Bukan air mata kebahagiaan dan kelegaan seperti itu. Melainkan air mata kesedihan dan penyesalan. Karena aku tidak lolos di jurusan impianku. Pendidikan Dokter. Atas bujuk rayu AAku, aku pun melakukan registrasi dan secara resmi terdaftar sebagai mahasiswa baru di jurusan farmasi suatu universitas di Jawa Barat.
Perkuliahan kulalui dengan semangat baru sebagai maba. Menjalin persahabatan, berkenalan dengan lingkungan kampus, bergabung dalam UKM, dan berambisi mendapat IP 4.00. Tapi aku tak pernah merasakan diriku sepenuhnya disitu. Ketika semangat ke-maba-anku mulai luntur dan menghilang, aku tak lagi ingin melanjutkan kuliahku. Untuk apa kulanjutkan? Karena aku tahu dan aku merasa sudah mengenal tujuanku. JADI DOKTER. Kuputuskan untuk mengikuti SBMPTN 2013. Tapi aku tak ingin teman-temanku tahu. Aku tetap menyimpan impianku itu dalam kesendirian. Karena aku takut mendapat malu apabila tidak berhasil lolos seleksi.
2013, lagi, aku harus membasahi pipi ini dengan air mata. Bukan karena aku tidak lolos dalam SBMPTN kala itu. Aku lolos di jurusan impianku di salah satu universitas islam di Jakarta. Tapi, aku yang gelap mata dan berpikiran pendek tak memikirkan masalah keuangan. Untuk registrasi membutuhkan uang dengan nominal hampir 9 digit angka. Aku mengira, dengan tekadku yang bulat dan kuat, semua akan teratasi. Nyatanya tidak seperti itu. Setelah ‘mengemis’ beasiswa dan dilempar kesana kemari, aku ‘gagal’ lagi saat itu. Sampai saat ini, aku masih mengingat dengan jelas perasaanku saat itu. Ada satu kejadian yang membuatku merasa tertampar dan bekas tamparan itu mungkin tidak akan bisa hilang.
Kalo emang nggak punya, nggak usah maksain jadi dokter.
Itulah yang terlontar dari bibir salah satu staf kementerian Agama ketika aku mengemis beasiswa di sana. Kata-kata itu mencekikku. Memburamkan penglihatanku. Menamparku seolah menyuruhku bangun dari mimpi sialan ini. ORANG MISKIN JANGAN PERNAH BERMIMPI. Tapi aku menolak bangun. Aku menolak menjadi lemah. Justru kata-kata itu seperti sebuah ninabobo yang selalu menjagaku tetap terlelap dalam impian ini. Air mata yang jatuh bukan pertanda diri ini lemah. Tapi tekad bulat yang semakin kuat. Setiap tetes air mata yang jatuh, justru membesarkan kobaran api semangat ini. Aku tak peduli lagi, tahun depan AKU AKAN MENJADI MAHASISWA KEDOKTERAN. Aku akan buktikan kepada seluruh dunia, uang bukanlah hambatan bagi impianku yang hampir mustahil itu. Aku memang miskin harta, tapi aku kaya akan semangat dan tekad.
Akhir 2013, aku memutuskan mengundurkan diri dari perkuliahanku di farmasi. Karena aku tak pernah merasa menjadi aku disitu. Aku HANYA INGIN MENJADI DOKTER. Bukan yang lain. Tak ada lagi yang kupedulikan. Aku tak lagi memikirkan pendapat teman terhadapku. Aku tak lagi memikirkan perkataan orang lain, terkecuali keluargaku. Reaksi mama ketika mengetahui aku mengundurkan diri adalah menangis. Mama kecewa terhadapku dan mengatakan aku telah menghancurkan kebanggaannya,juga menghancurkan pengharapannya. Dan selayaknya anak yang berusaha untuk berbakti kepada orangtua, aku benci melihat air mata mama itu. Aku benci membuatnya kecewa. itu membuatku benci terhadap impianku itu. ‘impian sialan’ itu sudah membuat hidupku sulit dan membuat orang yang teramat kucintai itu menangis. Tapi aku tak bisa mundur lagi. Aku sudah melangkah terlalu jauh. Aku akan menjadi dokter. Demi mengobati kekecewaan mama. Demi mengobati harga diri papa. Aku harus menjadi dokter. Tak peduli bagaimana caranya atau kapan waktunya. HARUS
Sejak saat itu, aku tak lagi hidup nyaman. Batin ini tersiksa. Pikiranku kusut. Tidur tak pernah nyenyak. Aku merasa hidup dalam mimpi buruk yang kubuat sendiri. Aku selalu merasa takut gagal. Karena aku tak bisa gagal. Aku tak boleh gagal. Itu adalah titik terendah dalam hidupku. Aku membenci impainku tapi aku harus mewujudkannya. Tak ada yang mendukungku. Semua orang, termasuk diriku sendiri, pesimis akan terwujudnya impian ini. Kecuali satu orang, Annisa Senja Rucita, sahabat terbaikku. Aku sangat beruntung memilikinya. Di saat aku lemah dan gentar, dialah yang membuatku kuat dan berani. Dengan perkataannya
Aku percaya kamu pasti bisa
Itu seperti kalimat ajaib yang membuatku bangkit dari jatuhku. Menstabilkan lututku yang gemetar ketakutan. Akhirnya, semua berbalik menjadi lebih baik lagi. Keluargaku mendukungku sepenuhnya. Aku tak lagi mencemaskan hasil yang akan kudapatkan. Berhasil atau gagal, aku memiliki keluarga, sahabat, dan orang-orang yang selalu mendukungku.
Juli 2014, tibalah saat yang menentukan kehidupanku selanjutnya. Dokter atau bukan? Alhamdulillah aku lolos SBMPTN di Pendidikan dokter Universitas Andalas dan mendapat beastudi etos PTTEP. Ini hanyalah sebuah gerbang. Jalanku masih panjang. Dan masih banyak hal yang harus aku lewati menuju impianku itu. Entah jalan berduri kah? Panas matahari yang menyengatkah? Samudera kah? Tidak ada yang tahu. Yang aku tahu, api semangat ini masih berkobar dan aku memiliki dukungan penuh dari keluarga, sahabat, dan para 'pendukung'ku yang menjadi sumber semangat tiada batas. Aku siap menjalani rintangan selanjutnya. Insyaa Allah..
Yang harus kita lakukan adalah jangan pernah menyerah. Karena ketika kita menyerah, siapa tahu pada kesempatan berikutnyalah kita berhasil. Jangan pernah menyerah. Sekalipun. Berjuang sampai titik darah penghabisan. 

Jadi kapan kita harus berhenti berjuang?

Ketika mimpimu yang begitu indah
Tak pernah terwujud
Ya KEJARLAH…
Saat kau berlari mengejar anganmu
Dan tak pernah sampai
Ya KEJARLAH…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar