Perkenalkan, namaku Fadhilah. Sekarang aku
berkuliah di jurusan pendidikan dokter Universitas Andalas angkatan 2014.
Keluargaku adalah keluarga yang berkecukupan dalam beberapa hal. Alhamdulillah.
Cukup untuk makan, cukup untuk merasa aman dalam rumah, cukup bahagia, cukup
ramai, dan cukup-cukup lainnya. Pendidikan kami pun bisa terlaksana dengan baik
karena adanya beasiswa (bidik misi untuk Aaku, etos untukku, BOS untuk
adik-adikku). Tentu saja tanpa adanya beasiswa tersebut, mungkin kami tak dapat
melanjutkan studi kami.
Saat ini aku diberi uang saku dan kuliahku
dibiayai oleh beastudi etos dimana sumber dananya berasal dari uang umat. Ini
merupakan amanah besar bagi etoser. Bagaimana pertanggungjawabanku terhadap
keuangan? Apabila uang tersebut dibelanjakan untuk sekedar memuaskan hasrat
pribadi. Misalnya saja makan bakso. Ada rasa bersalah yang didapat. Bayangkan
saja, mungkin ada beberapa orang dalam umat yang bersedekah itu dalam keadaan
sulit. Mungkin saja mereka bersedekah di saat mereka makan dengan lauk alakadarnya.
Sedangkan aku membelanjakan uang itu untuk memenuhi suatu tujuan (dalam contoh
ini, kenyang) dengan cara yang lebih mahal. Karena itu aku berusaha menggunakan
uang saku sebijak mungkin (walaupun seringkali aku kembali khilaf). Dan juga
aku terus mengingat bahwa aku berada di sini (etos) bukan hanya untuk balas
budi, tapi aku juga harus menggunakan sarana ini untuk meng-upgrade diri sendiri agar dapat memberikan
manfaat yang lebih besar kepada orang lain.
Sebetulnya uang saku yang diberikan tak
bisa dibilang cukup dan orang tuaku yang ‘berkecukupan’ tak bisa mengirimiku
uang setiap bulan (walau terkadang aku mendapat ‘hadiah’ dari saudara
orangtuaku). Jarak yang jauh antara kampusku, yang terasing dari jurusan lain,
dengan asrama etos mengharuskanku naik angkot (impianku adalah memiliki sepeda
agar ongkos menjadi gratis. Tapi banyak orang bilang aku gila. Waktu tempuh
perjalanan menggunakan angkot saja 50 menit. Apalagi menggunakan sepeda? Dan
juga jalan yang menanjak akan membuatku kelelahan). Jadilah uang sakuku habis
untuk ongkos angkot dan operasional asrama (iuran makan, beras, kas, dst)
bahkan setiap bulan aku selalu defisit. Tapi bukan mahasiswa namanya jika tak
bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Mahasiswa bahkan dituntut untuk mampu
menghasilkan solusi terhadap masalah yang ada di masyarakat. Bila masalah
sendiri tak mampu diselesaikan, apalagi masalah orang lain?
Karena itulah aku mulai
berdagang. Mungkin bagi sebagian orang, berdagang di kampus adalah hal yang
merepotkan bahkan ada pula yang mencapnya sebagai hal yang memalukaan. Tapi
menurutku, berdagang itu adalah hal yang keren. Kita mengasah diri sendiri untuk
menjadi enterpreneur muda. Aa (Abang dalam bahasa sunda) pun berdagang di kampusnya sampai dianugrahi dengan julukan pemasok
sarapan di kampusnya. Aku ingin mengikuti jejak keren Aaku.
Barang-barang yang kujual bukanlah barang
yang kubuat sendiri melainkan kuimpor dari luar Sumatera Barat (tapi masih di
dalam Indonesia). Aku mendapatkan kontak penjual dari internet yang kini marak
dijadikan sarana penipuan. Berbekal investigasi akun media sosial penjual
dan kepasrahan kepada yang Maha Kuasa,
aku mulai berani melakukan pembelian secara online. Kemudian tahap paling penting dalam
perdagangan yaitu pemasaran. Karena barang yang kujual adalah barang yang
terkenal, dengan pemasaran yang minimal pun, barang-barang itu laris manis.
Terhitung saat ini ada tiga item yang kujual dan itu berupa makanan.
Pemasukanku menanjak drastis. Tips yang mungkin dapat kubagikan adalah jangan
pernah terjadi utang-piutang karena akan sulit untuk balik modal. Perhitungkan
animo pembeli. Apabila jadwal kuliah padat, biasanya animo pembeli akan
meningkat dan sebaliknya. Percaya diri. Jangan pernah malu untuk berjualan. Dan
yang paling penting, awali dengan Bismillah.
Ada banyak hal yang bisa
kulakukan untuk menutupi kekurangan uang saku. Aku mulai mengumpulkan
barang-barang bekas untuk kujual, menghemat pengeluaran dengan berbagai cara
(menggunakan bahan dan alat yang berkualitas bagus tapi murah, jajan
alakadarnya, beli barang di tempat yang
murah dan sebagainya), menyediakan sarapan sehat (berbagai macam bubur),
dan memberikan les kepada anak SMP dan SMA (sayangnya masih belum terrealisasi
karena berbagai hal). Sebetulnya ada banyak cara untuk menambah uang
saku,terlebih sebagai mahasiswa, banyak lomba-lomba yang menyediakan hadiah
uang bagi pemenang. Juga ada pula kesempatan bagi mahasiswa yang notabene kaum
terpelajar dengan pemikiran kritis, untuk mengirimkan tulisan ke koran yang
apabila dimuat tentu akan mendapatkan imbalan. Baik
imbalan berupa rasa senang karena dapat membagikan ilmu kepada masyarakat luas,
maupun imbalan dalam bentuk materi yaitu uang.
Kesibukan di kampus dalam kepanitiaan dan
kepengurusan membuat banyak biaya yang harus dikeluarkan. Modal dagang
terpakai. Lalu habis tak kembali. Muncul demotivasi dan takut untuk mengambil
resiko barang dagangan tak laku kemudian merugi. Aku tak lagi berjualan.
Akhirnya uang saku yang habis bukan pada waktunya menciptakan hutang
disana-sini. Juga impian untuk membeli barang baru, menggantikan barang yang
seharusnya sudah dipensiunkan, tak dapat menjadi kenyataan. Tapi aku masih saja
‘nyaman’ dalam keadaan seperti itu. Uang kudapat secara mudah. Aku hanya perlu
menekan rasa malu dan meminta kepada ‘keluarga’ku di asrama. Memang seperti
yang dikatakan oleh Nasution M. Yunan bahwa kemalasan adalah kuburan bagi orang
yang hidup. Aku malas berjualan dan kini aku seperti mayat yang tak memiliki
rasa malu. Aku tekan rasa maluku dengan berbagai alasan. Aku sibuk, tak sempat
berdagang. Kampusku jauh tak seperti yang lain, aku pantas defisit. Lalu
tibalah kejadian yang menamparku begitu keras.
Saat itu aku kekurangan uang
dan aku memutuskan untuk meminta uang kepada orang-tuaku. Ternyata orangtuaku
meminjam kepada orang lain dan itu menyebabkan konflik disana. Aku merasa
sangat bersalah. Bahkan ketika aku jauh dari orang tua pun aku tetap mengandalkan
mereka. Masih menjadi beban bagi mereka. Padahal aku sudah dewasa secara umur
tapi masih juga hidup membebani mereka.
Lalu aku pun mencoba untuk berhutang kepada ‘keluarga’ku di asrama.
‘keluarga’ yang aku maksud adalah sesama etoser yang notabene sesama dhuafa.
Kejadian kali ini juga menamparku, dia berkata “ini uang buat Dhilah. Utang
Dhilah ga perlu dibayar. Aku anggap lunas”. Padahal kami sesama Dhuafa tapi dia
bahkan mampu untuk memberi kepada yang lain. Nominalnya pun tak bisa dibilang
kecil. Itulah sikap seorang etoser. More than excellent. Etoser lain bahkan tidak
pernah menagih hutang kepadaku. Kemudian secara tak sengaja aku mendengar
pembicaraan dia dengan orangtuanya. Sambil menangis dia berkata “Bu, Mawar
(bukan nama sebenarnya) ngga ada uang lagi. Maaf ya bu”. Mungkin aku telah
mengambil hak keluarganya. Aku merasa amat bersalah. Aku teringat temanku yang
lain di kampusku dulu. Dia sampai
sakit karena tak makan cukup. Uangnya dihabiskan untuk beramal. Atau etoser
lain yang menjual Hp satu-satunya untuk beramal. Aku merasa amat hina. Padahal
sudah ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary
“Seseorang
bertanya kepada nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam : ‘wahai rasul, sedekah
apakah yang paling afdhol?’ Beliau menjawab, ‘kau bersedekah ketika kau masih
dalam keadaan sehat lagi loba atau kau sangat ingin menjadi kaya dan khawatir
miskin’”
Dan itulah yang kini membangkitkan
semangatku lagi untuk berdagang. Ada banyak jalan untuk bersahabat dengan
keterbatasan. Terlebih aku memiliki keluarga dan sarana yang mendukungku. Yang
harus dilakukan adalah memotivasi diri sendiri atau mencari motivasi di sekitar
kita. Aku adalah seorang mahasiswa sekaligus etoser yang diharuskan memberikan
manfaat kepada masyarakat. Dan harus selalu ingat apa yang dijanjikan Allah SWT
bahwa dibalik kesusahan ada kemudahan. Seperti yang kini kurasakan bahwa
keterbatasan itu mempermudahku meng-upgrade diri
menjadi enterpreneur muda.
Nb : Sebenernya tulisan ini dibuat untuk melengkapi tugas penulisan di Etos. Buat tulisan yang lolos, bakalan dimasukin ke buku yang dibuat sama Dompet Dhuafa. Kebanyakan tulisan yang lolos sih dari etoser Padang. Sayangnya, tulisan ini belom lolos. Emang beda sih kualitas penulisannya. Harus tetep belajar nulis lagi. Hehehe. Lagipula, daripada tulisan ini nganggur di laptop, kan lebih baik dipublikasiin aja sekalian di blog ini. Hehehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar