Rabu, 18 November 2015

Potensi Mengupgrade Diri

Perkenalkan, namaku Fadhilah. Sekarang aku berkuliah di jurusan pendidikan dokter Universitas Andalas angkatan 2014. Keluargaku adalah keluarga yang berkecukupan dalam beberapa hal. Alhamdulillah. Cukup untuk makan, cukup untuk merasa aman dalam rumah, cukup bahagia, cukup ramai, dan cukup-cukup lainnya. Pendidikan kami pun bisa terlaksana dengan baik karena adanya beasiswa (bidik misi untuk Aaku, etos untukku, BOS untuk adik-adikku). Tentu saja tanpa adanya beasiswa tersebut, mungkin kami tak dapat melanjutkan studi kami.
Saat ini aku diberi uang saku dan kuliahku dibiayai oleh beastudi etos dimana sumber dananya berasal dari uang umat. Ini merupakan amanah besar bagi etoser. Bagaimana pertanggungjawabanku terhadap keuangan? Apabila uang tersebut dibelanjakan untuk sekedar memuaskan hasrat pribadi. Misalnya saja makan bakso. Ada rasa bersalah yang didapat. Bayangkan saja, mungkin ada beberapa orang dalam umat yang bersedekah itu dalam keadaan sulit. Mungkin saja mereka bersedekah di saat mereka makan dengan lauk alakadarnya. Sedangkan aku membelanjakan uang itu untuk memenuhi suatu tujuan (dalam contoh ini, kenyang) dengan cara yang lebih mahal. Karena itu aku berusaha menggunakan uang saku sebijak mungkin (walaupun seringkali aku kembali khilaf). Dan juga aku terus mengingat bahwa aku berada di sini (etos) bukan hanya untuk balas budi, tapi aku juga harus menggunakan sarana ini untuk meng-upgrade diri sendiri agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada orang lain.
Sebetulnya uang saku yang diberikan tak bisa dibilang cukup dan orang tuaku yang ‘berkecukupan’ tak bisa mengirimiku uang setiap bulan (walau terkadang aku mendapat ‘hadiah’ dari saudara orangtuaku). Jarak yang jauh antara kampusku, yang terasing dari jurusan lain, dengan asrama etos mengharuskanku naik angkot (impianku adalah memiliki sepeda agar ongkos menjadi gratis. Tapi banyak orang bilang aku gila. Waktu tempuh perjalanan menggunakan angkot saja 50 menit. Apalagi menggunakan sepeda? Dan juga jalan yang menanjak akan membuatku kelelahan). Jadilah uang sakuku habis untuk ongkos angkot dan operasional asrama (iuran makan, beras, kas, dst) bahkan setiap bulan aku selalu defisit. Tapi bukan mahasiswa namanya jika tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Mahasiswa bahkan dituntut untuk mampu menghasilkan solusi terhadap masalah yang ada di masyarakat. Bila masalah sendiri tak mampu diselesaikan, apalagi masalah orang lain?
Karena itulah aku mulai berdagang. Mungkin bagi sebagian orang, berdagang di kampus adalah hal yang merepotkan bahkan ada pula yang mencapnya sebagai hal yang memalukaan. Tapi menurutku, berdagang itu adalah hal yang keren. Kita mengasah diri sendiri untuk menjadi enterpreneur muda. Aa (Abang dalam bahasa sunda) pun berdagang di kampusnya sampai dianugrahi dengan julukan pemasok sarapan di kampusnya. Aku ingin mengikuti jejak keren Aaku.
Barang-barang yang kujual bukanlah barang yang kubuat sendiri melainkan kuimpor dari luar Sumatera Barat (tapi masih di dalam Indonesia). Aku mendapatkan kontak penjual dari internet yang kini marak dijadikan sarana penipuan. Berbekal investigasi akun media sosial penjual dan  kepasrahan kepada yang Maha Kuasa, aku mulai berani melakukan pembelian secara online.  Kemudian tahap paling penting dalam perdagangan yaitu pemasaran. Karena barang yang kujual adalah barang yang terkenal, dengan pemasaran yang minimal pun, barang-barang itu laris manis. Terhitung saat ini ada tiga item yang kujual dan itu berupa makanan. Pemasukanku menanjak drastis. Tips yang mungkin dapat kubagikan adalah jangan pernah terjadi utang-piutang karena akan sulit untuk balik modal. Perhitungkan animo pembeli. Apabila jadwal kuliah padat, biasanya animo pembeli akan meningkat dan sebaliknya. Percaya diri. Jangan pernah malu untuk berjualan. Dan yang paling penting, awali dengan Bismillah.
Ada banyak hal yang bisa kulakukan untuk menutupi kekurangan uang saku. Aku mulai mengumpulkan barang-barang bekas untuk kujual, menghemat pengeluaran dengan berbagai cara (menggunakan bahan dan alat yang berkualitas bagus tapi murah, jajan alakadarnya, beli barang di tempat yang  murah dan sebagainya), menyediakan sarapan sehat (berbagai macam bubur), dan memberikan les kepada anak SMP dan SMA (sayangnya masih belum terrealisasi karena berbagai hal). Sebetulnya ada banyak cara untuk menambah uang saku,terlebih sebagai mahasiswa, banyak lomba-lomba yang menyediakan hadiah uang bagi pemenang. Juga ada pula kesempatan bagi mahasiswa yang notabene kaum terpelajar dengan pemikiran kritis, untuk mengirimkan tulisan ke koran yang apabila dimuat tentu akan mendapatkan imbalan. Baik imbalan berupa rasa senang karena dapat membagikan ilmu kepada masyarakat luas, maupun imbalan dalam bentuk materi yaitu uang.
Kesibukan di kampus dalam kepanitiaan dan kepengurusan membuat banyak biaya yang harus dikeluarkan. Modal dagang terpakai. Lalu habis tak kembali. Muncul demotivasi dan takut untuk mengambil resiko barang dagangan tak laku kemudian merugi. Aku tak lagi berjualan. Akhirnya uang saku yang habis bukan pada waktunya menciptakan hutang disana-sini. Juga impian untuk membeli barang baru, menggantikan barang yang seharusnya sudah dipensiunkan, tak dapat menjadi kenyataan. Tapi aku masih saja ‘nyaman’ dalam keadaan seperti itu. Uang kudapat secara mudah. Aku hanya perlu menekan rasa malu dan meminta kepada ‘keluarga’ku di asrama. Memang seperti yang dikatakan oleh Nasution M. Yunan bahwa kemalasan adalah kuburan bagi orang yang hidup. Aku malas berjualan dan kini aku seperti mayat yang tak memiliki rasa malu. Aku tekan rasa maluku dengan berbagai alasan. Aku sibuk, tak sempat berdagang. Kampusku jauh tak seperti yang lain, aku pantas defisit. Lalu tibalah kejadian yang menamparku begitu keras.
Saat itu aku kekurangan uang dan aku memutuskan untuk meminta uang kepada orang-tuaku. Ternyata orangtuaku meminjam kepada orang lain dan itu menyebabkan konflik disana. Aku merasa sangat bersalah. Bahkan ketika aku jauh dari orang tua pun aku tetap mengandalkan mereka. Masih menjadi beban bagi mereka. Padahal aku sudah dewasa secara umur tapi masih juga hidup membebani mereka.  Lalu aku pun mencoba untuk berhutang kepada ‘keluarga’ku di asrama. ‘keluarga’ yang aku maksud adalah sesama etoser yang notabene sesama dhuafa. Kejadian kali ini juga menamparku, dia berkata “ini uang buat Dhilah. Utang Dhilah ga perlu dibayar. Aku anggap lunas”. Padahal kami sesama Dhuafa tapi dia bahkan mampu untuk memberi kepada yang lain. Nominalnya pun tak bisa dibilang kecil. Itulah sikap seorang etoser. More than excellent. Etoser lain bahkan tidak pernah menagih hutang kepadaku. Kemudian secara tak sengaja aku mendengar pembicaraan dia dengan orangtuanya. Sambil menangis dia berkata “Bu, Mawar (bukan nama sebenarnya) ngga ada uang lagi. Maaf ya bu”. Mungkin aku telah mengambil hak keluarganya. Aku merasa amat bersalah. Aku teringat temanku yang lain di kampusku dulu. Dia sampai sakit karena tak makan cukup. Uangnya dihabiskan untuk beramal. Atau etoser lain yang menjual Hp satu-satunya untuk beramal. Aku merasa amat hina. Padahal sudah ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary
“Seseorang bertanya kepada nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam : ‘wahai rasul, sedekah apakah yang paling afdhol?’ Beliau menjawab, ‘kau bersedekah ketika kau masih dalam keadaan sehat lagi loba atau kau sangat ingin menjadi kaya dan khawatir miskin’”
Dan itulah yang kini membangkitkan semangatku lagi untuk berdagang. Ada banyak jalan untuk bersahabat dengan keterbatasan. Terlebih aku memiliki keluarga dan sarana yang mendukungku. Yang harus dilakukan adalah memotivasi diri sendiri atau mencari motivasi di sekitar kita. Aku adalah seorang mahasiswa sekaligus etoser yang diharuskan memberikan manfaat kepada masyarakat. Dan harus selalu ingat apa yang dijanjikan Allah SWT bahwa dibalik kesusahan ada kemudahan. Seperti yang kini kurasakan bahwa keterbatasan itu mempermudahku meng-upgrade diri menjadi enterpreneur muda. 

Nb : Sebenernya tulisan ini dibuat untuk melengkapi tugas penulisan di Etos. Buat tulisan yang lolos, bakalan dimasukin ke buku yang dibuat sama Dompet Dhuafa. Kebanyakan tulisan yang lolos sih dari etoser Padang. Sayangnya, tulisan ini belom lolos. Emang beda sih kualitas penulisannya. Harus tetep belajar nulis lagi. Hehehe. Lagipula, daripada tulisan ini nganggur di laptop, kan lebih baik dipublikasiin aja sekalian di blog ini. Hehehehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar